Saprahan, Syariah, Sintang: Jalan Kultural Menjamin Kebebasan Beragama

KBB: Janji Konstitusi yang Masih Retak

Di tengah semangat demokrasi dan pluralisme, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Ekspresi keyakinan yang berbeda kerap memicu konflik sosial, bahkan terjerat regulasi diskriminatif. Tahun 2021, misalnya, massa merusak masjid milik Jemaat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat.

Spanduk penolakan Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat
Spanduk penolakan Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat (Dok.Setara Institute)

Peristiwa itu tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari rangkaian panjang diskriminasi. Kekerasan dan pengekangan identitas terus berulang di berbagai daerah. Pada 2016, masyarakat menyaksikan pengusiran eks-Gafatar di Mempawah yang mempertegas rapuhnya perlindungan KBB di Kalimantan Barat. Fakta ini memperlihatkan bahwa perlindungan KBB di Indonesia belum menyentuh akar persoalan secara substansial.

Secara hukum, konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, negara menegaskan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agamanya. Jaminan tersebut semakin kokoh setelah Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Namun, praktik di lapangan justru sering bertolak belakang.

Regulasi yang Kontra-Konstitusional dan Ancaman Diskriminasi

Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama masih dipakai untuk membatasi kelompok di luar arus utama. SKB Tiga Menteri 2008 pun membatasi aktivitas Ahmadiyah dan memberi ruang legal bagi diskriminasi negara. Situasi ini memperlihatkan bagaimana instrumen hukum malah menyalahi prinsip hak asasi manusia dan menodai netralitas negara dalam urusan agama.

Menjamin kebebasan beragama tidak cukup hanya lewat pembenahan regulasi. Perlu pendekatan kultural dan humanis yang menyertai penegakan hukum. Masyarakat Melayu di Kalimantan Barat, misalnya, memiliki tradisi saprahan, ritual makan bersama yang menekankan kesetaraan, kebersamaan, dan musyawarah. Nilai-nilai itu menjadi refleksi etika sosial yang inklusif sekaligus harmonis.

Saprahan: Tradisi Lokal, Nilai Inklusif

Tradisi saprahan membuka jalan untuk mengembangkan narasi alternatif dalam memperkuat KBB. Ketika nilai lokal yang menekankan toleransi, dialog, dan penghormatan terhadap perbedaan dipraktikkan di ruang publik, fondasi sosial menjadi lebih kokoh untuk menolak kekerasan berbasis identitas.

Syariah kerap dianggap ancaman bagi KBB, padahal potensi etisnya besar. Tafsir yang kontekstual dan inklusif mampu menghadirkan keadilan serta menjamin keberagaman. Karena itu, “Saprahan, Syariah, dan Sintang” dapat diposisikan sebagai strategi baru dalam memperkuat perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.

Pelajaran dari Dunia: Mengelola Perbedaan Secara Adil

Ketegangan identitas bukan monopoli Indonesia. Dunia mencatat kasus serupa, mulai dari konflik antara Tuareg dan pemerintah Mali, diskriminasi terhadap Muslim Uighur di Tiongkok, hingga sengketa panjang Israel-Palestina. Bedanya terletak pada cara negara dan masyarakat merespons: apakah dengan represi, atau dengan dialog yang berkeadilan.

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis dan agama yang tinggi, membutuhkan kebijakan publik yang tidak hanya menegakkan rule of law secara prosedural, tetapi juga rule of justice secara substantif. Reformasi hukum, literasi toleransi, serta pelibatan multipihak negara, masyarakat sipil, tokoh agama, dan adat menjadi kunci untuk merawat ruang sosial yang damai dan inklusif.

Menjaga Pluralisme Lewat Hukum dan Budaya

Perbedaan tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan. Justru dari keragaman itulah bangsa ini memperoleh kekayaan yang harus dikelola dengan bijak. Menjamin kebebasan beragama bukan hanya kewajiban hukum, melainkan juga tanggung jawab budaya dan kemanusiaan.

Saprahan mengajarkan nilai kesetaraan, sementara tafsir syariah yang humanis meneguhkan keadilan. Dari titik itu, Sintang muncul sebagai simbol harapan bahwa “Indonesia mampu menjamin kemanusiaan dan keadilan tanpa perlu mengorbankan keragaman.”

Share your love
Muhammad Adib Alfarisi
Muhammad Adib Alfarisi
Articles: 1

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *