Saprahan: Harmony Served on a Plate

Di banyak tempat, makan bersama hanyalah rutinitas harian biasa. Namun bagi masyarakat Melayu Kalimantan Barat, kegiatan ini bukan sekadar soal mengenyangkan perut. Ia menjelma menjadi ruang musyawarah, wahana pemulihan hubungan, sekaligus panggung bagi penguatan nilai-nilai sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Besaprah atau Saprahan, yang dilakukan di atas sehampar tikar dengan satu nampan besar berisi lauk pauk sederhana dari hasil bumi dan laut, menyimpan filosofi hidup yang kaya akan harmoni: bahwa kedamaian bisa diciptakan, dan masalah dapat diselesaikan, melalui sebuah jamuan yang sarat makna.

Tradisi ini dijalankan dalam posisi lesehan. Beberapa orang duduk mengelilingi satu talam dan menikmati makanan bersama. Tak diperlukan sendok—cukup tangan yang telah dibasuh air kobokan, lalu mengambil secukupnya dari nampan yang sama. Meski sederhana, momen ini jauh dari sekadar ritual kuliner. Saprahan kerap menjadi momen strategis untuk bermusyawarah, menyelesaikan konflik keluarga, mempererat tali persaudaraan, hingga memperbaiki hubungan yang renggang.

Di atas talam itulah emosi yang membara dilembutkan oleh aroma lauk dan rasa kebersamaan. Persoalan tak dibahas di meja perundingan yang formal, tapi di atas nasi yang dibagi rata. Tradisi ini mengajarkan bahwa penyelesaian masalah tak selalu harus melalui jalur resmi dan kaku. Kadang, cukup dengan suasana bersahaja, asal dilandasi rasa hormat dan niat baik.

Bagi masyarakat Melayu, Saprahan telah lama berfungsi sebagai forum musyawarah informal yang kokoh. Ia memainkan peran penting dalam penyelesaian konflik internal, diskusi antar keluarga besar, maupun pengambilan keputusan bersama. Di tengah zaman yang serba cepat dan individualistis, Saprahan menjadi oase yang menenangkan: memperlambat waktu, menyembuhkan suasana, dan menyejukkan relasi yang sempat retak.

Kehadiran Saprahan menegaskan satu hal penting: adab dan musyawarah bisa hidup berdampingan dengan jamuan makan. Konflik antar saudara, perbedaan pandangan, bahkan jarak emosional dapat dijembatani melalui Saprahan. Ia membuka ruang untuk saling memaafkan, memahami, dan mengakui satu sama lain sebagai sesama manusia.

Saprahan sebagai Warisan Cara Berpikir

Saprahan bukan hanya peninggalan budaya—ia juga warisan cara berpikir. Ia menunjukkan bahwa menyelesaikan masalah tidak harus dengan debat penuh emosi, tetapi bisa dengan makan bersama dalam suasana tenang. Dalam adab yang terjaga, dipandu oleh seorang Kepala Saprah yang dihormati, masyarakat Melayu memperlihatkan bahwa keharmonisan bukan sesuatu yang utopis—ia bisa dihidangkan, disuapkan, dan dirasakan bersama.

Dalam setiap Saprahan, terdapat tokoh sentral yang disebut Kepala Saprah. Dialah sosok yang dituakan sekaligus dihormati. Tak seorang pun boleh mulai makan sebelum Kepala Saprah menyentuh hidangan, dan makan akan berhenti saat Dia selesai. Tata tertib ini bukan semata aturan makan, melainkan bentuk penghormatan terhadap posisi sosial dan pengalaman hidup.

Kepala Saprah bukanlah penguasa feodal. Dia adalah pemimpin simbolik yang mewakili nilai-nilai etika dan adab. Dia mengajarkan bahwa menghormati yang lebih tua adalah kunci ketertiban sosial. Dalam pandangan masyarakat Melayu, penghormatan terhadap usia dan kebijaksanaan bukan hanya formalitas, melainkan fondasi nilai yang telah lama mengakar.

Nilai utama yang dijunjung dalam Saprahan adalah adab—tak hanya dalam makan, tapi juga dalam pergaulan. Tak ada suara gaduh, tak ada rebutan makanan, dan tak ada yang mendahului Kepala Saprah. Anak-anak Melayu diajarkan sedari dini untuk menghormati yang lebih tua, menahan diri, dan menjaga suasana agar tetap tenteram.

Di tengah dunia modern yang kian individualistis dan pragmatis, tradisi ini mengingatkan bahwa budaya bisa menjadi guru terbaik dalam membentuk etika kolektif. Seperti tertuang dalam falsafah hidup masyarakat Melayu: “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah”, Saprahan hadir sebagai warisan luhur yang memadukan nilai agama, budaya, dan sosial dalam satu piring.

Saprahan bukan sekadar jamuan makan. Ia adalah “harmoni yang disajikan.”

 

Share your love
Satrio Nurbantara
Satrio Nurbantara
Articles: 1

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *