Amnesti, Abolisi, dan Perang Aokiji vs Akainu: Kalau Tom dan Hasto Jadi Laksamana

Indonesia memang bukan dunia fiksi. Tapi kadang, kenyataan kita bisa lebih absurd dari manga Jepang. Terbaru, isu soal amnesti dan abolisi kembali naik daun. Bukan buat bajingan kelas teri, tapi buat elite-elite yang dulunya berkuasa, lalu tiba-tiba ingin “dimaafkan secara struktural”.

Nah, supaya nggak pusing, mari kita pakai analogi paling gampang: dunia One Piece. Yes, manga bajak laut itu.

Dalam semesta One Piece, ada dua tokoh menarik: Aokiji dan Akainu. Keduanya mantan laksamana angkatan laut. Sama-sama keren, sama-sama kuat, tapi cara mikirnya beda 180 derajat. Satunya percaya keadilan itu harus manusiawi, satunya yakin keadilan harus mutlak, keras, dan kadang sadis.

Sekarang bayangkan kalau dua karakter itu jadi pejabat di Indonesia. Misalnya, Aokiji jadi Tom Lembong, dan Akainu itu Hasto Kristiyanto. Serius.


Kubu Aokiji: Keadilan yang Nggak Bikin Orang Makin Nestapa

Kalau Anda penggemar One Piece, pasti tahu Aokiji itu tipe laksamana yang meski dingin, hatinya nggak beku. Dia pernah nyelametin anak kecil di tengah pembantaian, pernah ngelawan rekan sendiri karena nggak setuju dengan kekerasan yang kebablasan, dan bahkan cabut dari jabatannya karena sistem makin ngawur.

 

ilustrasi Tom Lembong sebagai Aokiji

Nah, gaya ini mirip dengan Thomas Lembong—mantan menteri, komisaris, dan sekarang intelektual publik yang suka bicara tentang rekonsiliasi politik, tata kelola demokratis, dan penegakan hukum yang adil serta progresif. Ia bukan tipikal yang doyan balas dendam politik atau mengunci orang dalam penjara selamanya. Bagi Tom, mungkin, keadilan itu bukan cuma menghukum, tapi juga memulihkan.

Makanya, buat kelompok kayak Aokiji atau Tom, amnesti dan abolisi bisa jadi alat penting. Bukan untuk cuci dosa, tapi buat buka jalan pulang bagi mereka yang tobat. Kata mereka: “Orang bisa salah, tapi jangan semua diseret sampai akhirat.” Keadilan itu bukan pelampiasan, tapi ruang untuk memperbaiki.


Kubu Akainu: Kalau Bersalah, Ya Habisin Sekalian

Sebaliknya, ada Akainu—sosok keras kepala, galak, dan ogah kompromi. Bagi dia, hukum itu hitam-putih. Kalau salah, ya salah. Kalau bajak laut, ya musuh negara. Bahkan sesama marinir aja bisa dihajar kalau dianggap goyah.

Gaya seperti ini terasa familiar? Ya, mirip sama Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan. Ketika isu-isu pengampunan politik muncul, Hasto termasuk yang sering mengingatkan soal disiplin ideologis, tanggung jawab, dan menjaga marwah institusi.

 

ilustrasi Hasto sebagai Akainu

Dalam dunia Akainu dan Hasto, hukum adalah soal menjaga ketertiban mutlak. Tak ada ruang untuk kompromi, apalagi pengampunan. Bagi mereka, jika hukum terlalu sering ditekuk demi alasan “rekonsiliasi”, maka negara bisa berubah jadi taman bermain bagi orang-orang salah. Keadilan jadi bahan tawar-menawar politik. Tapi kontradiksi muncul ketika Hasto sendiri—yang dulu vokal soal disiplin ideologis dan supremasi hukum—kini justru menjadi penerima pengampunan hukum itu sendiri. Amnesti yang dulunya dianggap melemahkan wibawa hukum, kini justru dinikmati. Ujung-ujungnya: keadilan terlihat sebagai lelucon, dan publik makin sinis.


Tapi Hidup Itu Nggak Cuma Dua Kubu

Masalahnya, hidup nggak pernah sesederhana komik. Kalau semua kayak Akainu, kita bisa masuk era otoritarian 2.0 yang pakai toga. Tapi kalau semua kayak Aokiji, nanti sistem hukum kita bisa jadi taman maaf nasional: semua bisa dihapus asal narasi cukup menyentuh.

Itu kenapa, debat soal amnesti dan abolisi ini penting. Apalagi kalau wacana ini mulai menyentuh mereka-mereka yang dulu berkuasa, lalu tiba-tiba ingin “berdamai” dengan hukum yang dulu mereka buat sendiri.

Pertanyaannya: amnesti dan abolisi ini ditujukan buat siapa, dengan alasan apa, dan diatur dengan mekanisme seperti apa? Kalau hanya buat elite, ini bukan keadilan—tapi akrobat politik pakai jubah hukum.

Bajak Laut di Negeri Serius

Kalau kita hidup di dunia One Piece, mungkin semua ini tinggal nunggu duel Tom vs Hasto di Pulau Punk Hazard versi Senayan. Tapi kita hidup di Indonesia—negeri yang terlalu serius buat dianggap santai, tapi terlalu absurd buat dihadapi pakai logika biasa.

Intinya begini: amnesti dan abolisi itu alat. Bisa menyembuhkan, bisa juga jadi racun tergantung siapa yang pakai. Kalau cuma buat cuci tangan, lebih baik jangan. Tapi kalau buat meretas masa depan yang lebih sehat secara hukum dan sosial, ya mari kita bahas, kita awasi, dan kita kawal.

Akhir kata, semoga kita nggak perlu nunggu topi jerami baru untuk bisa menegakkan keadilan yang masuk akal dan manusiawi. Karena kalau negara makin kayak kapal, jangan sampai kaptennya malah sibuk ngelindungi bajak laut yang pernah bikin bocor kapal sendiri.

Share your love

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *