Dalam beberapa minggu terakhir, istilah Game of Attention menjadi viral, terutama di media sosial Indonesia, setelah diangkat oleh Timothy Ronald. Dengan gaya komunikasinya yang khas dan narasi yang tajam, ia berhasil merebut perhatian publik. Namun di balik popularitas narasi ini, para pelaku branding justru menggerakkan strategi baru di era digital. Apakah Timothy sedang memainkan kekuatan personal branding, product branding, atau justru keduanya yang ia lebur dalam strategi lebih kompleks?
Antara Sosok dan Produk: Apa yang Sebenarnya Dijual?
Sekilas, terlihat bahwa Timothy memanfaatkan kekuatan personal branding, karisma, narasi kritis, dan kemampuannya mengartikulasikan keresahan zaman digital. Namun Timothy sering kali mengarahkan ujung narasinya pada promosi produk keuangan seperti Bitcoin. Pertanyaannya, apakah ia sedang menjual pemikiran, atau produk?
Banyak yang menganggap personal branding hanya kendaraan promosi untuk produk. Namun dalam konteks ini, hubungan antara keduanya jauh lebih rumit. Personal branding memicu perhatian, sedangkan product branding yang kuat menentukan sejauh mana nilai itu bertahan. Meski demikian, dalam ekosistem digital, suatu produk tetap membutuhkan figur agar nilainya bertahan.
Branding Tak Lagi Dikotomis
Sebagian pihak menganggap product branding lebih unggul dibanding personal branding. Mereka menilai produk lebih tahan lama dan tidak bergantung pada sosok tertentu. Namun, realitas di lapangan menunjukkan dinamika yang lebih kompleks. Dalam banyak kasus, terutama di ekonomi digital berbasis komunitas atau ideologi, figur publik membangun visibilitas dan relevansi sebuah produk dengan personal branding.
Bitcoin, misalnya, bukan produk konvensional. Ia tidak punya tim pemasaran, tidak punya logo resmi, dan tidak tidak menampilkan pendiri yang jelas. Figur seperti Timothy lah yang menghidupkan narasi tentang Bitcoin, membuatnya terasa masuk akal, bahkan inspiratif. Di sinilah branding bekerja bukan sebagai logo atau identitas visual, tetapi sebagai kerangka makna yang kolektif.
Apakah Ada Kontradiksi? Atau Justru Strategi?
Menarik untuk menyoroti potensi kontradiksi dalam strategi Timothy. Di satu sisi, ia mengajak publik untuk sadar akan manipulasi atensi dan menyadari jebakan konten-konten viral. Namun di saat yang sama, ia juga memainkan atensi publik untuk menyampaikan agenda tertentu, seperti baru-baru ini viral terkait “gym aktivitas bodoh“.
Apakah Timothy sedang bermuka dua dalam branding, atau justru ia cerdas menggunakan bahasa algoritma untuk melawan algoritma?
Figur seperti Timothy paham betul bahwa untuk mengajak orang berpikir kritis, pertama-tama mereka harus mau mendengarkan dan untuk membuat orang mendengarkan, kadang narasi perlu dikemas dengan atensi sebagai umpan.
Personal Branding adalah Gagasan, Product Branding adalah Ekosistem
Dalam refleksi akhir, personal branding dan product branding tidak lagi dipandang sebagai dua entitas yang saling bersaing, melainkan sebagai dua kutub yang saling menguatkan. Personal branding menyampaikan nilai, ideologi, dan koneksi emosional, sementara product branding menghadirkan fungsi, daya tahan, dan keterukuran nilai.
Yang terpenting bukan siapa yang lebih unggul, melainkan bagaimana keduanya bersama-sama membangun ‘ekosistem makna’ yang menumbuhkan rasa percaya publik, terutama milenial dan Gen Z.