Ekologi dalam Al-Qur’an dan Tantangan Sosial Pertambangan

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menjadi pengingat keras bahwa manusia bukan hanya makhluk spiritual, tetapi juga agen ekologis yang memiliki pengaruh besar terhadap keseimbangan alam. Al-Qur’an tidak memosisikan lingkungan sebagai latar pasif kehidupan manusia, melainkan sebagai bagian integral dari amanah kekhalifahan (khilāfah) yang diemban oleh umat manusia di bumi.

Dalam perspektif Al-Qur’an, bumi dan segala isinya diciptakan dalam keteraturan dan keseimbangan (QS. Ar-Rahman: 7–9). Allah menciptakan langit, bumi, air, tumbuhan, dan hewan bukan hanya sebagai sarana kehidupan, tetapi juga sebagai ayat—tanda-tanda kekuasaan-Nya. Maka dari itu, manusia tidak hanya hidup di bumi, tetapi juga ditugaskan untuk menjaganya. Eksploitasi sumber daya tidak boleh melebihi batas-batas kemaslahatan bersama.

Namun, dalam realitas sosial-ekonomi saat ini, terutama di kawasan kaya sumber daya alam seperti Kalimantan, fungsi ekologis bumi sering kali terabaikan dalam pusaran kepentingan industri pertambangan. Kekayaan tambang—seperti batu bara, emas, dan nikel—telah menjelma menjadi komoditas utama yang menggerakkan ekonomi nasional, tetapi sering kali dengan biaya ekologis dan sosial yang tinggi.

Pertambangan dan Luka Sosial-Ekologis

Dampak pertambangan tidak hanya mencakup kerusakan lahan, pencemaran sungai, atau hilangnya habitat. Pertambangan juga menimbulkan luka sosial, seperti konflik agraria, marginalisasi masyarakat adat, ketimpangan distribusi manfaat, dan krisis kesehatan akibat limbah beracun. Kawasan seperti Ketapang, Sanggau, dan Murung Raya di Kalimantan mencatat berbagai kasus sengketa lahan antara masyarakat adat dan perusahaan tambang.

Dalam konteks ini, peringatan Al-Qur’an dalam QS. Al-A’raf: 56, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya”, menjadi sangat relevan. Kerusakan tidak hanya berarti fisik, tetapi juga sosial—ketika manusia gagal merawat keterhubungan antara alam dan nilai-nilai kemanusiaan.

Eksploitasi yang tidak terkendali merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah ekologis. Pertambangan yang hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan keberlanjutan adalah manifestasi dari tindakan fasād—kerusakan yang dikecam dalam banyak ayat. Dalam QS. Al-Baqarah: 205, Allah mengingatkan bahwa ada manusia yang, ketika diberi kekuasaan di bumi, justru merusak tanah dan membinasakan makhluk hidup, meskipun mereka berpura-pura membawa perbaikan.

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan: Sebuah Fiqih Baru?

Islam memiliki prinsip maslahah (kemanfaatan) dan lā dharara wa lā dhirār (tidak membahayakan dan tidak saling membahayakan) yang sangat relevan terhadap isu pertambangan. Sebuah proyek yang merusak lingkungan, mengabaikan hak masyarakat lokal, dan menciptakan kerugian jangka panjang jelas bertentangan dengan maqāshid al-syarī’ah—tujuan syariat yang melindungi jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Al-Qur’an juga memperkenalkan prinsip wasathiyyah (keseimbangan) dalam pemanfaatan sumber daya. Tidak semua kekayaan bumi boleh diambil tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial. QS. Al-Furqan: 67 menegaskan, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak kikir, tetapi berada di tengah-tengah antara keduanya”. Artinya, konsumsi dan produksi dalam Islam dituntun oleh prinsip keberlanjutan. Eksploitasi masif yang menyebabkan deforestasi dan kekeringan sungai, jelas bertentangan dengan nilai-nilai ini.

Dalam konteks kontemporer, diperlukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat ekologis untuk membentuk etika pertambangan yang adil dan berkelanjutan. Hal ini menuntut kehadiran fiqih lingkungan—yaitu perangkat etis dan hukum Islam yang mampu merespons tantangan modern, mulai dari reklamasi pasca-tambang, keadilan restoratif bagi masyarakat yang terdampak, hingga tata kelola tambang yang transparan dan partisipatif.

Ekoteologi sebagai Basis Gerakan

Sebagian cendekiawan Muslim kontemporer mengusulkan pendekatan ekoteologi Islam, yang memahami relasi antara Tuhan, manusia, dan alam secara teologis. Dalam pendekatan ini, tindakan menjaga bumi bukan hanya kewajiban moral atau hukum, tetapi juga merupakan bagian dari ibadah. Kerusakan lingkungan tidak hanya berarti pelanggaran sosial, tetapi juga pelanggaran spiritual.

Al-Qur’an memberikan kerangka nilai; namun, manusialah yang bertanggung jawab untuk menerjemahkannya menjadi kebijakan dan tindakan. Tidak cukup hanya menanam pohon atau melakukan gerakan serupa. Harus ada keadilan struktural yang memastikan masyarakat lokal tidak menjadi korban eksploitasi sumber daya mereka sendiri.

Sebagai penutup, dalam pandangan Islam, merawat bumi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban spiritual. Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap kerusakan akan kembali kepada manusia sebagai dampaknya (QS. Ash-Shura: 30). Oleh karena itu, di tengah derasnya eksploitasi pertambangan, kita diingatkan bahwa pembangunan sejati adalah yang selaras antara kemajuan, keadilan sosial, dan kelestarian ekologis.

 

Share your love
Syaikh Fahmi Azhar
Syaikh Fahmi Azhar
Articles: 1

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *